Artikel
Kalondo Wei, Budaya Dou Mbojo.
Penulis : Alan Malingi.
Kalondo Wei adalah salah satu rangkaian dari prosesi pernikahan adat Bima. Kalondo Wei atau kalondo dou di wei adalah mengantar calon pengantin puteri dari kediamannya menuju ke Uma Ruka atau rumah untuk pengantin. Uma Ruka adalah rumah yang memang telah disiapkan oeh calon pengantin pria untuk hidup bersama calon istrinya kelak. Karena pada masa lalu, sebelum menikah calon pengantin pria harus menyiapkan rumah. Prosesi ini termasuk prosesi inti setelah prosesi pengantaran dan serah terima mahar. Tenggang waktunya adalah Sajama’ah (sejum’at atau sepekan) kadang – kadang sawura (sebulan) setelah pengantaran mahar. Kalondo Wei dilaksakan pada bulan purnama sesuai sholat Isya.
Calon penganten putri diturunkan (kalondo) dari atas rumah orang tuanya dan diusung ke uma ruka ( rumah penganten). Pada masa lalu usungan itu menggunakan kursi kayu atau kursi rotan. Tetapi ada juga yang menggunakan usungan Pabule yang dirancang khusus. Dia diantar oleh sanak keluarga dan kerabat dengan berbusana adat yang beraneka ragam sesuai dengan status sosial dan usia pemakai. Kesenian pengiring Kalondo Wei adalah atrasi jiki hadra (jikir hadra) diiringi musik rebana Pada waktu yang bersamaan di uma ruka sedang berlangsung “Ngaji kapanca” (tadarusan pada upacara kapanca). Ngaji kapanca akan berakhir bersamaan dengan setibanya rombongan calon penganten putri di Uma Ruka.
Rombongan penganten disambut dengan Tari Wura Bongi Monca dan dimeriahkan dengan atraksi Mpa’a Sila, Gantao dan Buja Kadanda. Mpa’a Sila adalah semacam seni bela diri berupa adu kentangkasan menggunakan pedang. Kadang atraksi ini juga disebut dengan Mpa’a Peda. Gantao adalah atraksi bela diri seperti silat tanpa menggunakan senjata. Buja Kadanfa adalah atraksi seni bela diri menggunakan tombak berumbai dari ekor kuda. Ketiga atraksi kesenian ini diiringi oleh tabuhan gendang,gong dan serunai khas Bima yang disebut Sarone.
Setelah calon penganten putri bersama rombongan tiba di Uma Ruka, maka akan dilanjutkan dengan upacara kapanca (penempelan inai). Upacara kapanca atau penenpelan inai di atas telapak tangan calon penganten putri dilakukan oleh para tokoh adat perempuan. Peta Kapanca dilakukan secara bergilir diiringi dengan lantunan jiki kapanca (jikir kapanca) tanpa iringan musik. Syair jikir berisi pujian atas kebesaran dan kemuuliaan Allah dan Rasul.
Tujuan yang terkandung dalam upacara kapanca adalah sebagai peringatan bagi calon penganten putri bahwa dalam waktu yang tidak lama, ia akan menjadi ibu rumah tangga yang akan mengemban tugas mulia dan berat. Telapak tangan yang selama ini halus mulus, akan bercucuran keringat dan darah.
Setelah upacara kapanca berakhir, maka akan dilanjutkan atrasi kesenian jiki hadra. Di halaman rumah akan dilanjutkan dengan atraksi permainan rakyat seperti Mpa’a sila, Gantao dan Buja Kadanda. Selain itu ditampilkan pula permainan rakyat yang bernama “Lanca” yaitu adu kekuatan betis di kalangan kaum laki – laki. Pada malam itu calon penganten laki – laki tidak boleh berada di atas uma ruka. Dia hanya boleh berada di halaman rumah bersama para anggota keluarga. Larangan itu sesuai dengan ketentuan adat.